Dalam padangan agama islam, kita mengenal bulan haram atau bulan yang disucikan. Di bulan haram ini kita ditekankan agar tidak bermaksiat atau berbuat dzolim terhadap orang lain, terlebih bertikai dan berperang di bulan-bulan haram (disucikan).

Imam Ibnu Katsir menjelaskan dalam tafsirnya; “Bulan-bulan yang diharamkan (disucikan) itu ada empat, tiga diantaranya secara berurutan, yaitu; Dzulqa’dah, Dzulhijjah, dan Muharram, dan satu bulan yang terpisah, yaitu Rajab.

Allah memuliakan bulan Dzulqa’dah, karena saat itu umat umat manusia dilarang untuk berperang. Pada bulan Dzulhijjah, kaum muslimin berangkat dan menyimbukkan diri dengan berbagai ritual manasik haji. Pada bulan Muharram, mereka kembali dari pelaksanaan haji ke negeri asal mereka dengan aman dan damai. Sedangkan bulan Rajab dimuliakan Allah subhanawata’ala karena orang dari berbagai pelosok negeri berziarah ke Baitullah dan kembali ke negeri mereka dalam keadaan aman.” Namun yang tidak kalah pentingnya adalah, bulan Rajab merupakan momentum yang dipilih oleh Allah subhanawata’ala untuk berkomuniaksi langsung dengan Nabi Muhammad sallallahu’alaiwassalam dalam rangka menerima perintah shalat lewat peristiwa Isra’ Mi’raj yang dijalaninya.

Bulan Dzulqa’dah adalah bulan kesebelas dalam penanggalan Islam. Bulan ini merupakan bulan yang mengandung makna sakral dalam sejarah, dimana pada bulan ini terdapat larangan berperang. Secara bahasa Dzulqa’dah berarti “penguasa gencatan senjata”, sebab pada saat itu bangsa arab meniadakan peperangan.

Bulan Dzulqa’dah merupakan salah satu dari beberapa bulan haji (al-syhur al-hajj) sebagaimana dijelaskan oleh Allah subhanawata’ala dalam surah al-Baqarah (2) ayat 197;

ٱلْحَجُّ أَشْهُرٌ مَّعْلُومَٰتٌ ۚ فَمَن فَرَضَ فِيهِنَّ ٱلْحَجَّ فَلَا رَفَثَ وَلَا فُسُوقَ وَلَا جِدَالَ فِى ٱلْحَجِّ ۗ وَمَا تَفْعَلُوا۟ مِنْ خَيْرٍ يَعْلَمْهُ ٱللَّهُ ۗ وَتَزَوَّدُوا۟ فَإِنَّ خَيْرَ ٱلزَّادِ ٱلتَّقْوَىٰ ۚ وَٱتَّقُونِ يَٰٓأُو۟لِى ٱلْأَلْبَٰبِ

“(Musim) haji adalah beberapa bulan yang dimaklumi, barangsiapa yang menetapkan niatnya dalam bulan itu akan mengerjakan haji, maka tidak boleh rafats, berbuat fasik dan berbantah-bantahan di dalam masa mengerjakan haji. Dan apa yang kamu kerjakan berupa kebaikan, niscaya Allah mengetahuinya. Berbekallah, dan sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah takwa dan bertakwalah kepada-Ku hai orang-orang yang berakal” (Q.s. Al-Baqarah : 197)

Ketika menasirkan ayat di atas, Ibnu Katsir menjelaskan bahwa yang termasuk bulan-bulan tertentu (al-asyhur al-ma’lumat) yang ditentukan untuk pelaksanaan ihram haji itu adalah Syawal, Dzulqa’dah, dan sepuluh hari dari bulan Dzulhijjah. Karena itulah, bulan-bulan ini dikenal pula dengan sebutan al-asyhur al-hajj (bulan-bulan haji).

Di antara keistimewaan bulan ini, sebagaimana dijelasakan oleh para ulama, di antaranya Ibnu Rajab dalam karyanya, Latha’if al-Ma’arif; bahwa Rasulullah melaksanakan empat kali umrah pada bulan-bulan ini, selain umrah yang dibarengi dengan haji (haji qiran). Salah satu hikmahnya sebagaimana dikemukakan oleh Ibnul Qayyim adalah karena umrah yang dilaksanakan di bulan-bulan haji setara nilainya dnegan pelaksanaan haji di bulan-bulan haji (al-asyhur al-hajj). Namun perlu diingat hal ini tidak berarti menafikan keutamaan umrah di bulan Ramadhan yang nilainya juga setara dengan ibadah haji.

Keistimewaan lain bulan Dzulqa’dah sebagaimana penjelasan Ibnu Katsir adalah bahwa masa tiga puluh malam yang dijanjikan oleh Allah subhanawata’ala kepada Nabi Musa untuk berbicara dengan-Nya juga terjadi pada malam-malam bulan Dzulqa’dah. Sedangkan sepuluh malam tambahannya jatuh pada sepuluh malam dari bulan Dzulhijjah, sebagaimana dijelaskan dalam surat al-A’raf (7) ayat 142;

وَوَٰعَدْنَا مُوسَىٰ ثَلَٰثِينَ لَيْلَةً وَأَتْمَمْنَٰهَا بِعَشْرٍ فَتَمَّ مِيقَٰتُ رَبِّهِۦٓ أَرْبَعِينَ لَيْلَةً

“Dan telah Kami janjikan kepada Musa (memberikan Taurat) sesudah berlalu waktu tiga puluh malam, dan Kami sempurnakan jumlah malam itu dengan sepuluh (malam lagi), maka sempurnalah waktu yang telah ditentukan Tuhannya empat puluh malam…”. (Q.s. al-A’raf : 142)

Amalan-amalan yang disyariatkan untuk dikerjakan pada bulan mulia Dzulqa’dah antara lain:

  1. Melaksanakan Ibadah Haji dan Umrah

Sebagai salah satu dari bulan-bulan haji, maka salah satu amalan yang disyariatkan untuk dikerjakan pada bulan ini adalh melaksanakan rangkaian manasik haji, sebagaimana dijelaskan dalam surat al-Baqarah ayat 197. Sedangkan hadits-hadits Nabi sallallahu’alaiwassalam yang secara tegas menjelaskan tentang sunahnya melaksanakan umrah di bulan Dzulqa’dah ini:

عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ لَمْ يَعْتَمِرْ رَسُؤْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِلَّا فِى ذِى القَعْدَةِ (رواه ابن ماجه)

“Dari Ibnu Abbas (diriwayatkan) ia berkata; Rasulullah sallallahu’alaiwassalam tidak pernah melaksanakan umrah kecuali pada bulan Dzulqa’dah” (HR. Ibnu Majah).

عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ لَمْ يَعْتَمِرْ رَسُؤْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عُمْرَةً إِلَّا فِى ذِى القَعْدَةِ (رواه ابن ماجه)

“Dari ‘Aisyah (diriwayatkan) ia berkata; Rasulullah sallallahu’alaiwassalam tidak pernah melaksanakan umrah kecuali pada bulan Dzulqa’dah” (HR. Ibnu Majah)

عنِ ابنِ عبّاسٍ قالَ: اعتمرَ النَّبيُّ – صلّى اللَّهُ علَيهِ وعلى آلِه وسلَّمَ – أربعًا: عُمرةً منَ الحُدَيْبيةِ، وعُمرةَ القضاءِ في ذي القِعدةِ مِن قابلٍ، والعُمرةَ الثّالثةَ منَ الجِعرّانةِ، والعُمرةَ الرّابعةَ الَّتي معَ حجَّتِهِ (رواه أحمد)

“Dari Ibnu Abbas (diriwayatkan) ia berkata; Nabi sallallahu’alaiwassalam melaksanakan umrah empat kali, umrah dari Hudaibiyah, umrah qadla pada bulan Dzilqa’dah dari Qabil, umrah ketiga dari Ji’ranah dan keempat umrah yang dilaksanakan bersama hajinya” (HR. Ahmad)

  1. Taubat, Meninggalkan Maksiat dan Dosa

Kemaksiatan merupakan racun amal dan menjadi penyebab jauhnya seseorang dari Allah dan tidak mendapat rahmat-Nya. Terlebih lagi jika kemaksiatan itu dilakukan pada waktu atau bulan-bulan yang sangat dimuliakan oleh Allah subhanawata’ala. Sebaliknya, ketaatan merupakan penyebab dekatnya seorang hamba dengan Allah dan pembuka pintu rahmat-Nya. Hal ini selaras dengan perintah untuk tidak melakukan kemaksiatan (khususnya pada bulan-bulan yang mulia), sebagaimana terdapat dalam surat at-Taubah (9) ayat 36;

إِنَّ عِدَّةَ ٱلشُّهُورِ عِندَ ٱللَّهِ ٱثْنَا عَشَرَ شَهْرًا فِى كِتَٰبِ ٱللَّهِ يَوْمَ خَلَقَ ٱلسَّمَٰوَٰتِ وَٱلْأَرْضَ مِنْهَآ أَرْبَعَةٌ حُرُمٌ ۚ ذَٰلِكَ ٱلدِّينُ ٱلْقَيِّمُ ۚ فَلَا تَظْلِمُوا۟ فِيهِنَّ أَنفُسَكُمْ ۚ وَقَٰتِلُوا۟ ٱلْمُشْرِكِينَ كَآفَّةً كَمَا يُقَٰتِلُونَكُمْ كَآفَّةً ۚ وَٱعْلَمُوٓا۟ أَنَّ ٱللَّهَ مَعَ ٱلْمُتَّقِينَ

“Sesungguhnya bilangan bulan pada sisi Allah adalah dua belas bulan, dalam ketetapan Allah di waktu Dia menciptakan langit dan bumi, di antaranya empat bulan haram. Itulah (ketetapan) agama yang lurus, maka janganlah kamu menganiaya diri kamu dalam bulan yang empat itu, dan perangilah kaum musyrikin itu semuanya sebagaimana merekapun memerangi kamu semuanya, dan ketahuilah bahwasanya Allah beserta orang-orang yang bertakwa”. (Q.s at-Taubah : 36)

  1. Memperbanyak Puasa dan Amal Saleh

Jika kemaksiatan merupakan racun amal yang dapat menyebabkan jauhnya seseroang hamba dari Tuhannya, maka tentu amal saleh merupakan faktor yang dapat mendekatkan seorang hamba dengan Allah subhanawata’ala dan dapat membuka pintu rahmat-Nya. Sebagaimana halnya seorang hamba senantias adiperintahkan untuk menjauhi segala bentuk kemaksiatan dan diperintahkan untuk melaksanakan amal saleh kapan dan di mana pun juga, maka tentu larangan melakukan kemaksiatan dan perintah melakukan amal saleh menjadi hal yang sangat ditekankan ketika seseorang berada pada bulan-bulan yang disucikan-Nya

Wallahu a’lam bisshowab.

__________________

Kontirbutor; Syamsul Bahri, S.Pd.I guru ISMUBA di PontrenMUH MBS Pleret, Yogyakarta

Sumber; Buku Saku “Amalan-Amalan Yang Disyariatkan Di Bulan-Bulan Haram” oleh Ruslan Fariadi A.M, S.Ag, M.S.I