TRILOGI SANTRI, MUSYRIF, DAN PAMONG

TRILOGI SANTRI, MUSYRIF, DAN PAMONG

Oleh Ariel Amarta Dzikrillah, S.Sos. [1]

 

Apa yang terbesit dalam benak ketika mendengar kata pesantren? Pastinya setiap orang yang pernah berinteraksi langsung di dalamnya, memiliki ingatannya masing-masing. Ingatan personal tersebut biasanya saling berkaitan antara santri, pengasuh, dan wali santri sebagai pihak yang memang terikat satu sama lain.

Jika boleh mengambil permisalan, bangunan fisik pesantren itu seperti satu jasad yang utuh. Adapun ruh yang menjadikan jasad itu hidup dan bernyawa adalah manusia yang tinggal di dalamnya, tak lain adalah santri dan pengasuh. Keberadaan keduanya dalam satu lingkungan yang sama akan membentuk suatu dinamika yang selalu menarik untuk dikenang.

Orang yang pernah mengeyam pendidikan di pesantren modern — yang menjadi konsep Muhammadiyah Boarding School (MBS) Pleret, dan pondok pesantren Muhammadiyah pada umumnya –, agaknya akan mengenal istilah santri, musyrif, dan pamong sebagai peserta didik dan pengasuh.

Tulisan ini akan sedikit memaparkan tentang siapa dan apa peran dari santri, musyrif, dan pamong dalam menghidupkan dinamika kepesantrenan. Tulisan ini juga akan sedikit menyinggung konteks kepesantrenan di MBS Pleret secara khusus dan pesantren Muhammadiyah pada umumnya.

 

Santri

Istilah santri berasal dari bahasa sansakerta yang berarti seorang pelajar yang tidak lepas dari kegiatan membaca dan memahami kitab suci.¹ Selain itu masih ada penjelasan lain dari segi bahasa arab atau sudut pandang filosofis. Singkatnya, makna santri tidak akan jauh dari indentitas pelajar dan identitas muslim.

Santri adalah unsur paling pokok yang harus ada. Hal ini karena istilah pesantren sendiri berasal dari akar kata santri yang berarti asrama atau pondokan yang dijadikan tempat tinggal oleh para santri.² Oleh karena itu, santri dan pesantren menjadi 2 bahasan yang akan saling berhubungan.

Perkembangan sistem kepesantrenan menunjukkan adanya perubahan yang dulunya bercorak tradisional menjadi modern. Singkatnya, santri saat ini tidak hanya memiliki kesempatan untuk mengembangkan ilmu agama, tapi juga pengetahuan umum dan keterampilan lain. Namun, jati diri seorang santri tetap ada pada ilmu agamanya.

Salah satu artikel di website Muhammadiyah.or.id menyebutkan adanya peningkatan jumlah pondok pesantren Muhammadiyah dalam dekade terakhir.³ Seiring dengan kabar baik ini, tentunya para santri kader Muhammadiyah juga diharapkan dapat kembali mengabdi di pesantren tempatnya menimba ilmu.

 

Musyrif

Unsur kedua dalam ruh kepesantrenan adalah musyrif. Secara bahasa musyrif artinya adalah pengawas.⁴ Umumnya, musyrif adalah seorang pendamping yang dituntut memiliki kemampuan membaca Quran, bahasa asing, wawasan keislaman yang cukup, dan satu lagi, tidak boleh menikah.

Sebagaimana arti namanya, tugas pokok musyrif adalah mengawasi dan melayani kebutuhan santri di asrama. Intensitas pendampingan dapat berlangsung dari sore hari sepulang pelajaran kelas sampai pagi menjelang berangkat ke kelas. Pada momen tertentu seperti liburan, pendampingan bisa jadi berlangsung 24 jam.

Yang menarik dari sosok musyrif adalah tuntutan untuk hidup bersama belasan hingga puluhan santri dengan latar belakang karakter, keluarga, budaya, hingga finansial yang berbeda. Pendampingan yang dilakukan pun juga menuntut musyrif untuk berperan sebagai ayah, ibu, guru, teman, dan berbagai peran lainnya.

Tuntutan peran di atas tentu tidak mutlak harus dipenuhi oleh musyrif. Hanya memang kehadiran musyrif adalah pengganti kehadiran orang-orang yang biasa ada di sekitar santri. Kalaupun peran itu harus diisi, tentu hanya sebatas apa yang dimampu musyrif, tidak mungkin sepenuhnya benar-benar mengganti.

Pada titik ini, menjadi musyrif yang ideal nampaknya sangat sulit untuk dicapai. Seringkali musyrif dihadapkan pada dilema antara memprioritaskan tugas pengabdian atau pengembangan diri di luar. Terlebih ketika masalah datang tidak hanya dari lingkungan pengabdian, tapi juga dari lingkungan pribadi musyrif.

Terlepas dari dinamika musyrif yang begitu kompleks, keputusan untuk menjadi musyrif sendiri adalah suatu kemuliaan yang dapat menjadi ladang amal jariyah. Tentu hal ini kembali pada tanggung jawab atas amanah dan keikhlasan hati, tanpa menafikan hak-hak yang memang pantas diterima.

 

Pamong

Unsur terakhir yang melengkapi, namun tidak kalah penting adalah pamong. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), pamong diartikan sebagai pengasuh, pendidik atau guru.⁵ Pamong juga dituntut memiliki kemampuan seperti musyrif, namun dengan standar yang lebih tinggi, dan satu lagi, umumnya sudah menikah.

Pamong utamanya bertugas untuk mengawasi dan mendampingi musyrif. Hal ini penting untuk mengontrol kinerja musyrif agar sesuai dengan apa yang diharapkan pesantren.  Pamong juga menjadi pengawas santri walau dengan porsi tugas yang tidak sebanyak musyrif.

Dalam hal struktural, pamong menempati posisi di atas musyrif. Ini dapat berfungsi sebagai jembatan komunikasi antara musyrif dan pimpinan pesantren dalam alur koordinasi. Sedangkan pada aspek kultural, pamong dapat menjadi sosok ustaz/kyai yang dituakan dan didengar oleh musyrif dan santri.

Idealnya, pamong adalah sosok yang tinggal bersama dengan musyrif dan santri dalam satu kompleks asrama. Pada kondisi tertentu, ada pula pesantren yang belum bisa menghadirkan pamong secara langsung. Hal ini tentu bukan karena disengaja, tapi disebabkan adanya keterbatasan tertentu.

Ketiadaan pamong dapat menyebabkan pengawasan musyrif dan pendampingan santri berjalan kurang maksimal. Salah satu solusi yang mungkin bisa diambil adalah dengan menunjuk pamong dari ustaz senior yang bertempat tinggal dekat dengan asrama. Solusi inilah yang diambil MBS Pleret, agar peran pengawasan dan pendampingan tetap terjaga.

Demikian 3 unsur yang berperan dalam menghidupkan ruh pesantren. Santri memiliki peran sebagai peserta didik dengan tugas utama sebagai pelajar, musyrif dan pamong yang bertujuan sebagai pengasuh dengan tugas sebagai penanggung jawab atas santri. Ketiganya, jika berjalan beriringan dan saling melengkapi, akan membentuk suatu proses yang hasilnya diharapkan dapat memenuhi tujuan dari didirikannya pesantren itu sendiri.

 

Referensi:

  1. Raditya, Iswara. 2019. Sejarah & Asal Usul Kata Santri: Berasal dari Bahasa Sansakerta?. https://tirto.id/ej72?utm_source=CopyLink&utm_medium=Share. 28 Juli 2022.
  2. Zulhimma. 2013. Dinamika Perkembangan Pondok Pesantren di Indonesia
  3. aanardianto. 2021. Tren Terus Menaik PontrenMu Berikan Catatan Menggembirikan. https://muhammadiyah.or.id/trend-terus-menaik-pontrenmu-berikan-catatan-mengembirakan/. 29 Juli 2022
  4. Munawwir, Ahmad Warson. 1997. Kamus Al-Munawwir Arab-Indonesia Terlengkap.
  5. https://kbbi.kemdikbud.go.id/entri/Pamong

 

 

 

[1]  Staff Pengajar di MBS Pleret

Bagikan :