Arsa Rintoko, ia adalah seorang pemuda yang giat melestarikan kesenian daerah di Yogyakarta, khususnya di Padukuhan Lemahdadi, Bangunjiwo, Kasihan Bantul. Pemuda kelahiran 1994 itu merupakan salah satu pemuda yang pernah terpilih sebagai Juara 1 Pemuda Pelopor tingkat nasional pada tahun 2017 pada bidang sosial, budaya, dan, pariwisata.
Kisah Arsa, menjadi Pemuda Pelopor kebudayaan lokal di daerahnya bermula dari kecintaan keluarganya terhadap kesenian daerah. Selain itu, lingkungan di sekitarnya memang akrab dengan kesenian-kesenian daerah. Arsa tinggal di dusun Lemahdadi, Kasihan, Bantul, D.I. Yogyakarta. Lemahdadi merupakan salah satu perkampungan yang kaya akan kesenian tradisional, seperti karawitan, wayang wong, ketoprak, gejog lesung, jatilan, dan lain-lain.
Sejak kecil Arsa Rintoko sudah dekat dengan kesenian daerah. Hal itu pulalah yang membuatnya tertarik untuk melanjutkan pendidikan di sekolah yang di dalamnya mengajarkan kesenian. Tercatat ia mengenyam pendidikan seni di SMKI Yogyakarta jurusan karawitan dan pedalangan. Kemudian, pendidikan tingginya ia tempuh di ISI Yogyakarta.
Kisah perjuangannya menyelesaikan tugas akhir kuliahnya di ISI Yogyakarta pun menarik untuk diketahui karena selain untuk kepentingan dirinya sendiri, penelitian yang dilakukannya juga berkontribusi untuk pelestarian musik tradisi. Ia meneliti notasi musik Prajurit Keraton Yogyakarta.
Pada kesempatan wawancara dengan Arsa Rintoko ia mengisahkan bahwa Musik Prajurit Keraton Yogyakarta dulunya hanya bersifat lisan, yaitu wejangan (nasihat) dari sesepuh turun temurun. Belum ada notasi tertulisnya. Pada awalnya, Arsa Rintoko mohon palilah (izin) kepada kerabat Keraton Yogyakarta untuk meneliti musik Prajurit Keraton Yogyakarta. Ia hanya mengandalkan indra pendengaran, perasaan, perhatian, dan keterampilan olah rasa serta keterampilan tangannya. Hingga pada akhirnya Arsa Rintoko berhasil manggali alat musik Prajurit Keraton Yogyakarta tersebut agar memiliki notasi musik sehingga generasi berikutnya bisa mempelajari musik Prajurit Keraton Yogyakarta berdasarkan notasi yang sudah dibuat tersebut.
Setiap kali ia mendapatkan ilmu kesenian dari manapun pasti ia langsung mengajarkan atau melestarikan budaya kesenian tersebut kepada masyarakat. Adapun untuk mewadahi hal tersebut ia membentuk sebuah paguyuban seni. Melalui paguyuban seni yang sudah dibentuknya tersebut masyarakat dapat berkesenian setiap pekan melalui latihan-latihan yang dilakukan. Peserta yang mengikuti latihan setiap pekan itu tidak hanya orang tua, tetapi semua tingkatan umur ada. Mulai dari tingkat anak-anak, remaja, dewasa, orang tua, bahkan sampai lansia.
Arsa Rintoko memiliki strategi agar budaya lokal berupa kesenian daerah tetap terjaga dan lestari. Salah satu strategi yang ia lakukan adalah menyasar generasi muda untuk diajak berkesenian. Melalui regenerasi inilah diharapkan ada bibit-bibit penerus kesenian daerah di lingkungan tempat tinggalnya.
Salah satu langkah awal mengajak generasi muda untuk berkesenian adalah dengan mengajak anak-anak kecil untuk melihat pertunjukan kesenian baik langsung maupun online. Lalu, ketika ada anak yang tadinya tidak menyukai kesenian tradisional perlahan mulai menyukainya. Ketika anak-anak sudah suka dan tertarik untuk mempraktikannya maka ia langsung ajarkan.
Pada masa pandemi seperti sekarang ini, pelaku seni tentu mengalami hambatan. Adapun hambatan-hambatan dalam melestarikan budaya kesenian tersebut antara lain, pertama, keadaan anak-anak zaman sekarang tidak seantusias anak-anak di zamannya.
Arsa Rintoko mengatakan, “Sekarang anak-anak lebih modern, dihadapkan dengan teknologi seperti gadget. Lalu sekarang daring semua dituntut untuk memegang gadget. Minusnya ini adalah anak-anak jadi sering sedikit-sedikit gadget malah tidak ada urusannya dengan pelajaran dan kebanyakan anak-anak zaman sekarang ini bermain game.”
Hambatan dengan adanya permainan modern atau game online ini juga diungkapkan oleh Arsa Rintoko. Ia mengatakan, “Game itu juga menjadi salah satu hambatan bagaimana saya bisa menyeimbangkan anak-anak ini agar tidak hanya bermain dengan hp saja, tetapi harus juga bermain yang berkaitan dengan berkebudayaan lokal.”
Solusi untuk mengatasi permasalah ini, Arsa Rintoko berusaha untuk mengenalkan permainan tradisional kepada anak-anak di lingkungannya. Ia mengatakan, “Saya juga mengembangkan dolanan bocah untuk diikutkan kepada kesenian wayang wong.”
Itulah salah satu hambatan untuk bisa mentransfer nilai-nilai kebudayaan lokal kepada anak-anak ditengah pandemi ini. Solusi lain yang ia lakukan adalah dengan menggunakan teknologi tersebut untuk mengenalkan kesenian. “Hal yang dapat saya lakukan ialah dengan teknologi ini kita gunakan untuk memaksimalkan, mempublikasikan menyebarluaskan dan menginternasionalkan apa yang kita punya,” kata Arsa Rintoko dengan semangat.
Hambatan Kedua, dalam melestarikan budaya kesenian selama masa pandemi ini tentu saja mengalami banyak perbedaannya dengan sebelum pandemi. Karena pertunjukan itu mengakibatkan kerumunan sehingga aktivitas sangat terbatas sekali.
“Selama pandemi memang ada beberapa kali pentas daring, seperti gejog lesung, wayang wong, karawitan, jatilan. Namun, pentasnya ini hanya bisa mengandalkan dinas terkait untuk bisa pentas daring. Media yang biasanya digunakan dalam pelaksanaan pentas secara daring ini berupa live streaming di youtube,” kata Arsa Rintoko.
Ketiga, permasalahan yang sering terjadi setiap kali pementasan ungkap Arsa Rintoko adalah dananya. Ia mengungkapkan, “Dana kesenian dari dinas itu biasanya baru cair setelah tiga bulan selesai pementasan. Seperti kejadian beberpa bulan kemarin pentas diadakan pada bulan April, lalu dananya baru cair pada akhir bulan Juli. Artinya kita sebagai pengurus bagaimanapun caranya agar pentas itu tetap berjalan walaupun dananya belum turun dari pemerintah.”
Sering juga ia harus mengeluarkan dana pribadinya agar kegiatan kesenian tersebut tetap berjalan dengan lancer. Ia bercerita, “Terkadang saya dihadapkan dengan hal yang seperti itu sehingga saya selalu mencukupinya terlebih dahulu dengan uang pribadi. Mungkin kita cari pinjaman kemana seperti itu. Namun, tidak masalah berkat musyawarah sebuah organisasi selalu ada jalan keluar.”
Harapan yang ia inginkan untuk generasi muda, yaitu untuk bisa membuka wawasan, membuka mata, dan membuka wacana yang lebih luas lagi.
“Budaya kita, kesenian yang kta punya ini tidak seperti yang dipikirkan banyak orang semisal kuno, tidak bisa mengikuti perkembangan zaman, kemudian identik dengan orang-orang tua itu tidak sama sekali benar. Silakan dibuka wawasannya bahwa betapa pentingya peran dari seni kebudayaan kita ini untuk dapat mendukung peradaban negara itu lebih maju lagi,” ungkap Arsa Rintoko mengakhiri wawancara pada hari yang cerah itu.
Itulah kisah Arsa Rintoko sang Pemuda Pelopor Pejuang Kesenian. Ia seorang local hero di Bantul, Yogyakarta yang pantang menyerah melestarikan kesenian daerah di lingkungan sekitarnya. Tabik! (Nuurul M.)