TIGA ORIENTASI LIBURAN
Penyaji : Ariel Amarta Dzikrillah, S.Sos.[1]
Libur menjadi satu kata yang dekat dengan para pelajar dan pekerja, tidak terkecuali para guru dan murid. Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) menyebutkan arti libur dengan suatu kondisi di mana seseorang terbebas dari aktifitas bekerja dan masuk sekolah, lalu rentang masa dalam berlibur itu disebut dengan liburan.
Liburan identik dengan aktifitas bepergian untuk bersenang-senang, orang-orang bisa dengan rela mengeluarkan biaya dan melewati kepadatan kendaraan dan manusia untuk mengisi waktu libur. Sebagian mungkin menetap di rumah dengan aktifitas yang relatif lebih santai, atau mungkin ada pekerjaan khusus yang sudah disiapkan.
Membincang liburan dari sudut pandang guru-murid dalam konteks sekolah atau pesantren, agaknya ada tiga orientasi yang bisa dibahas, yaitu orientasi untuk berilmu, beramal, dan bermain. Semoga dengan pembahasan ini, kita bisa memilih apa yang sebenarnya penting untuk dicari dari waktu liburan yang ada.
Berilmu
Aktifitas mengajar di dalam dan luar kelas, serta beragam urusan administrasi, tentu akan menyita mayoritas waktu seorang guru untuk belajar. Oleh karena itu, liburan menjadi kesempatan berharga untuk kembali belajar, pembelajaran yang barangkali bisa lebih intensif dengan cakupan materi yang lebih luas dari sekedar materi sekolah.
Bagi seorang murid, liburan juga bisa digunakan untuk tetap belajar. Apa yang membedakan aktifitas belajarnya di sekolah dengan ketika liburan, adalah kebebasan untuk mengkondisikan lingkungan belajarnya. Seorang murid bisa dengan bebas mencari pelajaran, waktu, tempat, guru, dan metode belajar yang sesuai dengannya.
Biar bagaimanapun, menyusun rencana belajar di masa liburan tetap membutuhkan pertimbangan yang tepat. Hal ini agar hasil yang diperoleh dapat sesuai dengan kebutuhan dan potensi diri. Dalam Islam, manusia diminta untuk mencari kebahagiaan akhirat, pencarian itu tentu dimulai dengan pencarian akan ilmunya terlebih dahulu.
Para ulama menjelaskan perihal ilmu fardh al-ain yang artinya wajib dipelajari bagi setiap muslim, lalu ada ilmu fardh al-kifayah yang kewajibannya gugur kalau sudah dipelajari oleh sebagian. Ringkasnya, ilmu yang wajib dipelajari bagi setiap muslim adalah ilmu yang berkaitan dengan akidah, perintah, dan larangan.
Idealnya, mempelajari ilmu yang wajib itu haruslah dengan pendampingan guru, karena hal ini berkaitan dengan sanad keilmuan. Kemudian yang paling utama adalah dengan bertemu secara langsung dalam kajian, karena ini berkaitan dengan adab yang tidak akan didapat sebatas lewat buku atau internet.
Tidak bisa dipungkiri, sebagian orang dan daerah mungkin memiliki keterbatasan akses pada kajian keislaman secara langsung. Jika demikian, maka kajian dalam jaringan (daring) pun bisa jadi pilihan sementara untuk belajar, hanya kemudian tetap selektif dalam memilih guru dan sumber.
Selanjutnya, ilmu apapun yang dirasa bisa bermanfaat dan membawa kebaikan, meskipun tidak masuk dalam kategori wajib dipelajari, hendaknya juga dicari. Saat ini kita bisa dengan mudah mencari kursus dan program liburan yang memberikan pengajaran ilmu dan pelatihan keterampilan yang beragam.
Melihat pentingnya orientasi keilmuan ini, sekurang-kurangnya bagi guru dan murid hendaknya meluangkan waktu liburnya untuk tetap belajar dengan segala potensi yang ada. Setidaknya, ketika kembali ke lingkungan sekolah, semangat belajar dan keilmuan di antara keduanya tetap terjaga dan sudah dalam keadaan siap.
Beramal
Liburan itu adalah rentang masa di mana seseorang terlepas dari kewajibannya untuk bekerja atau sekolah, tapi ia tidak membebaskan seseorang dari kewajibannya sebagai hamba Allah. Oleh karena itu, jangan sampai rencana yang telah dibuat justru melalaikan seseorang untuk tetap menunaikan ibadah wajibnya dengan baik.
Liburan juga berarti momen untuk keluarga, ada keluangan waktu dan tenaga yang tidak akan didapatkan di hari lain, terlebih untuk santri dan perantauan. Umumnya, waktu liburan banyak digunakan untuk berwisata. Terlepas dari itu, esensi liburan untuk keluarga yang sebenarnya ada pada interaksi antar anggotanya.
Interaksi seorang anak kepada orang tuanya dalam tindakan membantu pekerjaan rumah, itu jauh lebih bernilai. Kesempatan ayah dan ibu untuk berbicara kepada anaknya tentang berbagai hal, itu juga akan lebih berkesan. Barangkali, ada hal-hal yang perlu diisi dari kekosongan-kekosongan yang ada sebelumnya.
Terlepas seseorang itu kembali ke rumah asalnya atau tidak, tapi liburan adalah momen untuk berinteraksi dengan lingkungan sekitar agar ia sadar bahwa dirinya tidak hidup sendirian. Mengenal siapa saja yang tinggal dan menetap di sekitarnya, barangkali ada potensi-potensi untuk mengerjakan suatu amal kebaikan bersama.
Orientasi beramal adalah kelanjutan dari proses berilmu di awal. Al-Zarnuji menyebutkan bahwa tanda manfaatnya ilmu adalah ketika diamalkan. Seorang murid atau santri yang mempelajari akhlak misalnya, ilmu yang dipelajari itu akan dianggap tidak berguna jika pada kenyataannya tidak bisa mengamalkan akhlak yang baik.
Dan sebagaimana disebutkan di awal, bahwa amal yang kita kerjakan adalah amal yang juga dimaksudkan untuk mendapatkan kebahagiaan di akhirat, juga tanpa melupakan kebahagiaan di dunia dengan pegangan syariat. Maka dengan keyakinan ini, semoga dapat menguatkan kesadaran bahwa pada amal-amal yang berhubungan dengan keluarga dan lingkungan sekitar, ada orientasi akhirat yang bisa dicapai.
Bermain
Kata bermain di dalam al-Quran disandingkan setelah kata kehidupan dunia. Ahli tafsir al-Sa’di menafsirkan bahwa kehidupan dunia itu hakikatnya hanyalah permainan jasadiyah dan kesia-siaan bagi hati. Artinya, segala hal yang tidak memiliki orientasi akhirat, pada hakikatnya adalah permainan dunia yang sia-sia.
Sayangnya, fenomena yang kita lihat pada momen liburan adalah ramainya tempat-tempat bermain daripada tempat-tempat ibadah dan belajar. Juga dalam aktifitas harian yang lebih menunjukkan permainan seperti yang saat ini banyak tersedia di aplikasi gawai.
Memang secara hukum, bermain pada asalnya adalah mubah. Namun, yang perlu diperhatikan adalah bahwa perkara mubah itu bisa condong kepada dosa dan pahala. Inilah yang harus diperhatikan, kapan permainan sebagai suatu hal yang mubah dapat membawa pahala dan kapan ia bisa berujung pada dosa.
Contoh sederhananya, hukum bermain dapat menjadi haram ketika jelas melalaikan dari ibadah wajibnya dan melanggar syariat. Sebaliknya, bermain dapat menjadi pahala jika tidak berlebihan dan dimaksudkan untuk menyenangkan hati pasangan atau saudara muslimnya. Berdasarkan kecondongan kedua, dapat diketahui bahwa penentu pahala dalam bermain adalah niat.
Demikian tiga orientasi yang barangkali bisa ditemukan dalam seseorang ketika menjalani masa liburnya, yang paling ideal tentu ketika seseorang memanfaatkan waktunya untuk berilmu dan beramal, hingga dapat membawanya pada kebahagiaan akhirat. Dalam proses tersebut, jangan sampai diri tersibukkan dengan permainan yang sia-sia atau bahkan terjerumus dalam dosa.
Mari kita merenungkan hadist Rasul ﷺ : “Di antara tanda baiknya keislaman seorang hamba adalah meninggalkan apa yang tidak berguna baginya.”
Referensi :
Al-Zarnuji. (2019). Ta’lim al-Muta’allim fi Thariq al-Ta’allum. Solo: Aqwam.
Al-Haitsami. (1986). Majma’ al-Zawaid wa Manba’ al-Fawaid. Beirut: Muassasah Ma’arif.
Al-Ghazali. Fatihatu al-Ulum. Kairo: al-Mathba’ah al-Husainiyah al-Misriyah.
https://tafsir.app/saadi/28/77
[1] Staff Pengajar PPM MBS Pleret